Iran Gunakan Drone Untuk Deteksi Perempuan Tak Pakai Hijab

Iran terus memperketat pengawasan terhadap aturan wajib hijab bagi perempuan dengan memanfaatkan teknologi canggih, termasuk penggunaan drone, sistem pengenalan wajah, dan aplikasi pelaporan warga. Hal ini terungkap dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis pada Jumat, 15 Maret 2025.

Aplikasi ‘Nazer’ dan Pengawasan Digital

Salah satu alat utama dalam sistem pengawasan ini adalah aplikasi seluler “Nazer,” yang didukung oleh pemerintah. Aplikasi ini memungkinkan warga serta aparat kepolisian melaporkan perempuan yang dianggap melanggar aturan berpakaian.

Menurut laporan hasil investigasi selama dua tahun tersebut, “Nazer” memungkinkan pengguna mengunggah informasi berupa pelat nomor kendaraan, lokasi, serta waktu ketika seorang perempuan kedapatan tidak mengenakan hijab. Sistem kemudian akan menandai kendaraan tersebut secara daring dan mengirimkan peringatan kepada pihak berwenang.

Selain itu, aplikasi ini juga mampu mengirimkan pesan peringatan secara real-time kepada pemilik kendaraan yang terdaftar, memberitahukan bahwa telah terjadi pelanggaran aturan hijab. Jika peringatan tersebut diabaikan, kendaraan yang bersangkutan dapat disita oleh pihak berwenang.

Pada September 2024, cakupan aplikasi ini diperluas untuk menargetkan perempuan di ambulans, taksi, dan transportasi umum, memperketat kontrol terhadap kepatuhan aturan berpakaian di ruang publik.

Drone dan Pengenalan Wajah dalam Pengawasan

Selain melalui aplikasi, Iran juga mengerahkan drone untuk memantau kepatuhan aturan hijab di ruang-ruang publik, terutama di ibu kota Teheran dan wilayah selatan negara itu. Sementara itu, sistem pengenalan wajah mulai diterapkan sejak awal 2024 di gerbang masuk Universitas Amirkabir di Teheran untuk mengawasi kepatuhan mahasiswi terhadap aturan berpakaian.

Kontroversi RUU ‘Hijab dan Kesucian’

Aturan wajib hijab di Iran terus menuai kontroversi, terutama dengan munculnya rancangan undang-undang (RUU) “Hijab dan Kesucian.” Meskipun sempat ditangguhkan pada Desember 2024, RUU ini tetap menjadi ancaman serius bagi perempuan di negara tersebut.

Jika disahkan, aturan ini akan menerapkan hukuman berat bagi pelanggar, termasuk hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda sebesar US$12 ribu atau sekitar Rp187 juta. Bahkan, berdasarkan Pasal 286 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Iran, perempuan yang dianggap melakukan “kerusakan di muka bumi” dapat dijatuhi hukuman mati.

RUU ini juga memperluas kewenangan aparat keamanan dalam menegakkan aturan hijab, serta meningkatkan penggunaan teknologi dan pengawasan terhadap masyarakat.

Gelombang Protes dan Reaksi Global

Gelombang protes besar menentang aturan wajib hijab sempat melanda Iran pada 2022, menyusul kematian Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan polisi moral Iran pada September tahun itu. Aksi demonstrasi yang terjadi tidak hanya dipicu oleh kebijakan hijab, tetapi juga berbagai permasalahan politik dan sosial yang lebih luas.

PBB mencatat bahwa dalam aksi demonstrasi tersebut, ratusan orang tewas akibat tindakan represif pemerintah Iran. Laporan terbaru PBB juga menuduh Iran melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama dalam upaya menekan perbedaan pendapat yang menargetkan perempuan dan anak perempuan.

Dengan semakin meningkatnya penggunaan teknologi dalam pengawasan aturan hijab, ketegangan antara pemerintah dan kelompok-kelompok pro-demokrasi di Iran diperkirakan akan terus berlanjut. Perkembangan ini pun menjadi perhatian dunia, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak perempuan dan kebebasan individu di negara tersebut.