Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan penerapan tarif tambahan sebesar 10% terhadap barang-barang impor dari China, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 4 Maret 2025. Langkah ini diambil dengan alasan bahwa China tidak cukup berupaya menghentikan aliran fentanil, suatu opioid sintetis, ke AS.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah China menyatakan ketidakpuasan dan penentangan tegas terhadap kebijakan tarif tersebut. Kementerian Perdagangan China menegaskan bahwa tindakan AS melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berjanji akan mengambil langkah-langkah balasan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengkritik pendekatan AS yang dianggap “bermuka dua”—di satu sisi menyatakan keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan China, namun di sisi lain meningkatkan tarif perdagangan. Wang menekankan bahwa tidak ada negara yang dapat menekan China sambil mengklaim ingin mengembangkan hubungan baik, dan pendekatan semacam itu merugikan stabilitas hubungan bilateral serta menghambat pembangunan rasa saling percaya.
Sebagai respons, China telah menerapkan tarif balasan terhadap produk-produk AS, termasuk mengenakan tarif 15% pada impor ayam, gandum, jagung, dan kapas, serta tarif 10% pada produk seperti sorgum, kedelai, daging babi, daging sapi, produk laut, buah-buahan, sayuran, dan produk susu. Selain itu, China menghentikan impor kayu dari AS dan memulai penyelidikan anti-dumping terhadap produk serat optik AS.
China menegaskan bahwa pihaknya tidak menginginkan perang dagang, namun tidak gentar untuk membalas jika diperlukan. Pemerintah China juga mengajukan gugatan ke WTO atas tindakan AS yang dianggap melanggar aturan perdagangan internasional.
Ketegangan perdagangan antara AS dan China ini menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut yang dapat berdampak negatif pada perekonomian global. Pasar saham di Asia dan AS mengalami penurunan akibat kekhawatiran tersebut.